Selalu Menghindari Kenyataan: Kebijakan AS dan Kudeta Militer Mesir

AS harus mengakui bahwa menggulingkan pemerintah yang terpilih (secara demokratis melalui pemilu, pen), yang digantikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh militer, adalah kudeta.

*) Diterjemahkan dari:
Living in Denial: US Policy & Egypt's Military Coup
Oleh: John Esposito **) di situs Al-Jazeera.com


(Kebiasan buruk AS yang bersikap, pen) selalu menghindari kenyataan ternyata sangat susah untuk diakhiri, dan gagal menyadari adanya kudeta yang dilakukan militer mesir akan terbukti kontra produktif baik bagi rakyat Mesir maupun bagi para pembuat kebijakan Barat.

AS menghadapi kesulitan besar untuk mengakui bahwa penggulingan Mursi dan penunjukkan pemimpin oleh militer adalah suatu kudeta. Jika militer dan pemerintahan sementara salah langkah, akan membawa kemunduran, yaitu melanjutkan era sejarah 60 tahun pemerintahan otoriter, setidaknya hingga generasi berikutnya. Di saat yang sama akan menghasilkan sentimen anti-barat yang bisa berpotensi menjadi sebuah ancaman keamanan yang tidak boleh diremehkan.

AS dan Eropa akan dituduh bersikap bertentangan dengan prinsip dan nilai mereka sendiri yaitu komitmen mereka terhadap promosi nilai-nilai demokrasi dan HAM. Sejauh ini, mereka telah gagal dalam ujian ini dikarenakan apa yang telah mereka lakukan berpuluh-puluh tahun  ketika mereka mendukung rejim otoriter di Mesir, Tunisia, Amerika Latin,dan ditempat lain. Saat ini AS dan Uni Eropa (UE) perlu bertindak untuk mencegah persepsi yang sedang mulai mengeras itu, berdasarkan pada laporan yang bocor dan kredibel bahwa AS telah mengetahui dan tentang rencana kudeta militer bahkan mendukungnya baik dengan tindakan maupun dengan sikap diamnya yang telah diperhitungkan.

Komitmen terhadap proses demokrasi telah dirobohkan sendiri oleh keengganan dan ambiguitas AS dan lainnya untuk menyatakan bahwa tindakan yang salah adalah salah. Penggulingan suatu pemerintahan yang dipilih secara demokratis dan menggantikannya dengan pejabat yang ditunjuk oleh militer adalah jelas sebuah kudeta. Jantung dari demokrasi adalah komitmen terhadap proses demokrasi dan penerimaan konsepnya oleh "oposisi loyal" (oposisi loyal adalah konsep dimana partai oposisi mendukung kebijakan partai yang berkuasa jika kebijakannya baik untuk kepentingan rakyat, pen). Pemimpin politik dipilih dan diberhentikan melalui kotak suara. Oposisi boleh menentang, bahkan menghina, penguasa dan mengerahkan segala cara yang sah/legal untuk menjatuhkan mereka tetapi harus tetap setia kepada bangsa dan proses demokrasi. Jika tidak, keseluruhan sistem tidak akan mempunyai dasar keabsahan. Sebagaimana yang dikatakan Muhammad Adel Ismail, seorang pemuda pekerja sosial 26th: "Ia [Mursi] telah melakukan beberapa kesalahan fatal, itu harus diakui, tapi menurut pengertian saya tentang demokrasi adalah anda telah memilihnya untuk berkuasa,  jika kemudian gagal, maka jangan dipilih lagi (atau dimakzulkan dengan cara yang legal, pen).

Boleh saja pemerintahan sementara/transisi, yang dipimpin oleh para mantan pejabat Mubarak, berjanji untuk membuat politik yang inklusif (mengakomodasi berbagai pihak, pen) dan proses yang lebih demokratis, tapi kenyataannya Mursi telah diisolasi ditengah kepungan pembicaraan tentang tuduhan menghasut rakyat atau kejahatan lainnya. Ikhwanul Muslimin (IM) telah menjadi target penangkapan dan penahanan dan dituduh sebagai teroris sementara senjata-senjata para tentara menembaki para demonstran damai - yang membunuh 51 orang dan melukai lebih dari 400 lainnya. Tujuan dari pihak militer jelas dan sejalan dengan cara-cara yang telah dilakukan Mubarak selama puluhan tahun: menggunakan kekerasan brutal untuk mengintimidasi, menekan, dan memprovokasi oposisi untuk berbuat kekerasan lalu berkata: "Tuh kan, sudah saya bilang, mereka itu serigala berbulu domba".

Ancaman kemanusiaan (existential threat) yang sekarang dirasakan oleh IM harus dihilangkan. Langkah-langkah segera yang harus dilakukan AS dan UE menuju arah ini seyogyanya meliputi: bersegera untuk bertemu dengan Presiden Mursi, dan bersegera membebaskannya termasuk juga semua tahanan politik dan anggota keluarga yang ikut ditahan. Sebagai tambahan, menyerukan perlunya suatu dialog nasional yang mengikutsertakan Partai Kebebasan dan Keadilan (PKK), wakil-wakil militer, dan partai politik lain untuk menentukan arah ke depan yang bisa diterima oleh semua pihak.

AS dan UE juga harus menyerukan diadakannya suatu penyelidikan yang independen atas serangan terhadap demonstran dan memroses secara akuntabel siapa saja yang telah menggunakan kekuatan secara berlebihan. Sangat penting, AS dan UE untuk menekankan bahwa setiap proses demokrasi di masa depan harus menjamin inklusifitas penuh terhadap semua partai politik yang telah ikut ambil bagian dalam pemilu paska Mubarak, menyerukan untuk menetapkan tanggal pemilu segera yang bisa diikuti oleh semua partai (termasuk PKK).

Agar semua itu dilaksanakan secara serius oleh pemerintah yang dibekingi militer, AS dan UE harus menggunakan posisi tawar mereka yang kuat: pemutusan bantuan militer sesuai dengan hukum (undang-undang AS menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh memberikan bantuan kepada negara yang pemerintahannya hasil kudeta, pen), dan menunda pengakuan atas pemerintahan transisi sampai semua langkah diatas dilaksanakan. Pada waktu yang sama, mereka harus benar-benar mengawasi perlakuan terhadap Mursi, IM dan anggota PKK, dan para pendukung mereka dan mengutuk tanpa menggunakan kata-kata ambigu atas penggunaan senjata terhadap pengunjuk rasa damai. Hal ini akan mengirimkan sebuah pesan yang jelas kepada mereka yang saat ini memegang kekuasaan dan kepada dunia Arab.

Pergolakan yang terjadi di negeri-negeri Arab mengindikasikan adanya sebuah keinginan yang kuat menuju sebuah arah maju yang baru, suatu penggulingan terhadap kekuasaan yang sudah mengakar di banyak negeri Arab yang bercorak otoritarian, dan sebuah perjuangan untuk membangun satu jenis demokrasi yang baru. Sebuah kudeta yang dibekingi militer adalah jelas langkah mundur. Presiden Mesir pertama yang dipilih secara demokratis telah terpaksa berbuat beberapa kesalahan akibat adanya "defisit demokrasi" baik dalam sistem maupun budaya sebagai akibat dari kekuasaan otoritarian yang telah berlangsung puluhan tahun.

Betul, Mursi dan para pemimpin IM telah melakukan kesalahan-kesalahan. Mereka terbukti "kekurangan kemampuan" dalam membuat transisi dari suatu gerakan terorganisir, dengan pengalaman bertahan hidup dibawah kepungan ancaman, menjadi pemerintahan inklusif yang cukup mewakili (secara politik maupun agama). Tetapi mereka juga harus diakui tidak mungkin bisa mengendalikan sebagian besar birokrasi pemerintahan, termasuk militer, badan intelijen, kehakiman, kementrian dalam negri, dan polisi, yang masih dipengaruhi oleh rejim Mubarak. Keadaan demikian pasti akan menghambat pemerintahan Mursi dan siapa saja yang mengancam kekuasaan dan hak-hak istimewa mereka dibalik layar. Masyarakat internasional: AS, IMF,berbagai negara Eropa, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, kurang antusias untuk membantu pemerintah Mursi untuk mengatasi tantangan berat ekonomi yang diwariskan rejim terdahulu dan tingginya pengangguran. Tetapi beberapa hari setelah kudeta, Saudi dan UEA dengan cepat menjanjikan bantuan milyaran dolar.

Disengaja atau tidak, Obama telah mengirimkan pesan standar ganda, sebagaimana yang telah dilakukan AS dalam mendukung rejim otoritarian di masa lalu. Sekarang, dimasa kebangkitan demokrasi, aturan mainnya enggan diterapkan pada suatu pemerintah Islami yang telah dipilih secara demokratis. Hal ini tercermin dari sikap tidak jelas pemerintahan Obama dan, sebagai akibatnya, menolak kenyataan bahwa penggulingan Mursi adalah suatu kudeta, sebagaimana tercermin ketika pemerintahan George W. Bush bersikap tidak jelas untuk menyebut metode penyiksaan Water-boarding sebagai pelanggaran HAM dan hukum internasional. Dan sebelumnya, pemerintahan bapaknya, George H.W. Bush telah menyetujui tindakan militer Aljazair untuk membatalkan kemenangan partai FIS yang mengakibatkan suatu "perang yang menjijikan" yang menyebabkan 150 ribu tewas (0,6%, pen) dari populasi sekitar 25 juta orang.

Kepentingan Barat jangka panjang terhadap Mesir, dan kawasan yang lebih luas, akan lebih baik jika dilayani oleh pemerintahan yang mewakili rakyat yang dipilih melalui suatu proses demokratis, aturan hukum, dan lembaga independen.
**) John L. Esposito adalah seorang Profesor Universitas bidang Agama dan Urusan Internasional, Universitas Georgetown dan Presiden dari American Academy of Religion.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar